Persoalan Gus Yaqut, Kasus Kuota Haji Ujian Penegak Hukum 

Artikel158 Views

Ditulis

Oleh : ADV. Gunawan SH MH CIL dari Law Firm Gunawan, S.H.M.H & Partner

Lampung, Sumberpintar.com– Kebijakan pembagian kuota haji sebanyak 20.000 orang dengan rincian 10.000 jamaah haji reguler dan 10.000 jamaah haji khusus yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Agama No. 130 Tahun 2023 tentang Kuota Haji Tambahan Tahun 1445 H/2024 Masehi apakah merupakan tindakan atau perbuatan yang salah memenuhi unsur melawan hukum sebagaimana dimaksud Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi?

Unsur melawan hukum merupakan tindakan atau perbuatan yang dipersalahkan karena melangkahi prosedur atau aturan yang benar.

Sebagaimana diketahui Kuota tambahan haji sebesar 20.000 jamaah merupakan kebijakan dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk jamaah haji Indonesia. Di dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 Menteri Agama memiliki kewenangan menetapkan dan mengatur kuota haji tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 bahwa , “(1) Dalam hal terdapat penambahan kuota haji Indonesia setelah Menteri menetapkan kuota haji sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (2), Menteri menetapkan kuota haji tambahan; (2) Ketentuan mengenai pengisian kuota haji tambahan diatur dengan Peraturan Menteri.

Kebijakan penetapan dan pengaturan pembagian kuota tambahan telah diatur dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 130 Tahun 2024 sebagai turunan dari Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Nomor 8 Tahun 2019. Adapun penetapan dan pengaturan kuota haji dasar telah diatur sebelumnya dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1005 Tahun 2023 yang menetapkan 8 % (delapan persen) kuota haji khusus dan 92% (sembilan puluh dua persen) kuota haji reguler.

Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Nomor 8 Tahun 2019 tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai pembagian kuota haji jika ada tambahan kuota haji (Pasal 9).

Atas dasar aturan di atas dan beberapa pertimbangan situasional dan teknis, Menteri Agama yang waktu itu dijabat oleh Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan diskresi tentang kebijakan pembagian kuota haji tambahan sebagaimana dimuat dalam Keputusan Menteri Agama No. 130 Tahun 2024.

Oleh karenanya kebijakan pembagian kuota haji tambahan bukanlah tindakan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tindak pidana korupsi, sehingga menurut prinsip hukum pidana Indonesia menyatakan tiada pidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sist rea).

Polemik kuota haji tambahan tahun 2024 telah memicu reaksi berbagai pihak. Proses penyelidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menimbulkan bias sepertinya bukan lagi persoalan hukum, tetapi lebih mengarah kepada muatan unsur politis. Karena hingga kini belum ada satupun penetapan Tersangka dari prahara perkara dugaan korupsi kuota haji.

Publik sangat berharap eksistensi KPK dalam penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi haruslah diperkuat untuk tujuan kebenaran dan keadilan.

Penegakan hukum tersebut haruslah murni (pure) tanpa intervensi atau pesanan politik. Pengumuman dugaan tindak pidana kuota haji oleh KPK telah menjadi bias dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga menimbulkan polemik di masyarakat.

Oleh karenanya penegakan hukum harus mencerdaskan dan mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Dana haji semestinya dikembalikan kepada jamaah, bukan kepada lembaga penegak hukum.

Persoalan ini tidak hanya menyangkut isu hukum pidana, tetapi juga menyentuh ranah kebijakan publik, bahkan prinsip dasar syariah tentang perlindungan jiwa jamaah.

Isu hukum kerap menabrak ruang abu-abu antara kebijakan publik dan tindak pidana. Kasus dugaan korupsi distribusi kuota haji yang menyeret mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, kini memasuki babak krusial.

Publik ramai membicarakan kabar bahwa penyidik segera menetapkannya sebagai tersangka.

Seorang menteri, berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, memiliki kewenangan untuk mengatur teknis pelaksanaan kebijakan negara. Kuota haji adalah ranah administratif yang diberikan mandat oleh Kerajaan Arab Saudi, lalu didistribusikan pemerintah Indonesia.

Kewenangan mengatur pembagian kuota, termasuk kuota tambahan, adalah ruang kebijakan (policy) yang tidak jarang menimbulkan pilihan dilematis.

Apakah prioritas diberikan kepada jamaah reguler, lansia, petugas, atau kelompok tertentu? Setiap keputusan pasti mengandung risiko ketidakpuasan.

Dalam hukum administrasi, ruang ini dikenal sebagai freies Ermessen atau kebebasan bertindak pejabat untuk kepentingan umum. Diskresi bukanlah tindakan tanpa batas, melainkan tetap terikat asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

Pertanyaan hukumnya: apakah diskresi itu digunakan melampaui batas, sehingga berubah menjadi tindak pidana?

Dalam hukum pidana, kesalahan terdiri dari dua unsur: actus reus (perbuatan lahiriah) dan mens rea (sikap batin pelaku). Tanpa adanya niat jahat atau kesadaran bahwa tindakannya merugikan negara, sulit menjerat seseorang dengan pidana korupsi.

Kasus Gus Yaqut menimbulkan dilema. Jika distribusi kuota dilakukan dalam kerangka diskresi, maka perbuatannya adalah policy decision, bukan tindakan memperkaya diri sendiri. Apalagi, bila tidak ditemukan aliran dana ke rekening pribadi atau pihak tertentu yang terafiliasi secara langsung.

Dengan kerangka ini, diskresi menteri dalam mengatur distribusi kuota dapat dipandang sebagai bentuk perlindungan jiwa jamaah. Artinya, keputusan pembagian kuota bukan hanya soal teknis birokrasi, tetapi juga langkah preventif untuk menghindari mudarat yang lebih besar.

Bagi aparat penegak hukum, kehati-hatian menjadi kunci. Setiap tuduhan harus berdiri di atas bukti kuat, bukan sekadar persepsi publik atau tekanan politik. Jika mens rea tidak dapat dibuktikan, maka dakwaan berpotensi rapuh di pengadilan

Mahkamah Agung dalam berbagai putusan menegaskan bahwa korupsi menuntut adanya unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Tanpa itu, perbuatan hanya jatuh pada kesalahan administrasi.

Tentu, isu haji bukan semata soal hukum. Ia menyentuh dimensi politik dan etika. Jamaah haji adalah umat, dan kuota haji adalah ruang sensitif yang mudah menjadi komoditas politik. Kritik terhadap pemerintah, baik di masa Gus Yaqut maupun menteri-menteri sebelumnya, hampir selalu sama: transparansi distribusi kuota masih menyisakan celah.

Namun, mengadili pejabat negara tidak cukup hanya dengan menimbang etika dan persepsi publik.

Hukum pidana membutuhkan bukti konkret, terutama terkait mens rea. Tanpa itu, proses hukum rentan dipandang sebagai kriminalisasi kebijakan.

Opini publik tentu berhak menuntut akuntabilitas. Namun, bagi negara hukum, menjaga proporsionalitas adalah keniscayaan. Menyeret seorang pejabat ke meja hijau haruslah didasarkan pada bukti kuat, bukan asumsi.

Kasus Gus Yaqut adalah cermin bagi kita semua. Ia mengingatkan bahwa batas antara diskresi kebijakan dan tindak pidana amatlah tipis. Dalam konteks hukum pidana, pembuktian mens rea menjadi kunci apakah perbuatan itu layak disebut korupsi atau sekadar kebijakan yang kontroversial.

Jika penegakan hukum gagal menjaga keseimbangan ini, yang lahir bukanlah keadilan, melainkan ketidakpastian, sekaligus trauma bagi pejabat publik yang hendak bekerja.

Kasus kuota haji ini adalah ujian bagi penegak hukum untuk membedakan antara kesalahan administrasi, kebijakan publik yang tidak populer, dan tindak pidana korupsi. Dengan pendekatan maqashid syariah, khususnya prinsip hifz nafs, distribusi kuota semestinya dipandang sebagai ikhtiar melindungi nyawa jamaah dari bahaya desak-desakan di Mina. Jika mens rea tidak terbukti, maka pemidanaan justru akan menciderai prinsip ultimum remedium hukum pidana.

Negara hukum menuntut pembuktian yang jelas, bukan sekadar asumsi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *